Topik “mendaki saat haid” sering memicu perdebatan di kalangan pendaki. Sebagian masih memegang pantangan lama yang mengaitkannya dengan hal mistis, sementara yang lain menilai hal tersebut tak lebih dari kepercayaan tanpa dasar ilmiah. Faktanya, kondisi tubuh perempuan saat menstruasi memang mengalami perubahan fisiologis tertentu yang perlu dipahami bukan dijadikan larangan mutlak.
Artikel ini membahas secara seimbang: dari sisi budaya dan mitos yang hidup di masyarakat, hingga penjelasan medis yang objektif agar kamu bisa mengambil keputusan yang bijak sebelum naik gunung.

Latar: Dari Pantangan ke Perdebatan
Di banyak daerah pegunungan Indonesia, masih hidup keyakinan lisan bahwa perempuan yang sedang menstruasi sebaiknya tidak naik gunung. Alasannya beragam mulai dari kekhawatiran “mengganggu penunggu”, membawa sial bagi kelompok pendaki, hingga dianggap tidak selaras dengan energi alam.
Namun, di sisi lain, pendaki modern menilai larangan tersebut sudah saatnya dikaji dengan logika dan ilmu. Gunung adalah ekosistem alami, bukan tempat yang bisa membedakan manusia dari status biologisnya. Karena itu, yang paling penting bukan “boleh atau tidak”, melainkan bagaimana menjaga diri dan lingkungan saat melakukannya.
Perspektif Budaya & Mitos
Pantangan yang Hidup di Jalur Pendakian
Hampir setiap gunung besar punya “aturan tak tertulis” tentang haid. Di Gunung Gede Pangrango misalnya, sebagian masyarakat sekitar percaya bahwa perempuan yang sedang datang bulan sebaiknya tidak mendaki karena dikhawatirkan membawa ketidakseimbangan alam.
Meski tidak bisa dibuktikan secara ilmiah, menghormati kepercayaan lokal tetap menjadi bentuk etika sosial agar pendakian berjalan lancar tanpa konflik dengan warga atau petugas setempat.
Narasi Mistis dan Cerita Lapangan
Cerita-cerita “aneh” di gunung mulai dari suara tanpa wujud, aroma tertentu, hingga kejadian ganjil saat ada pendaki yang sedang haid sering kali memperkuat keyakinan lama. Namun perlu diingat, tidak semua kejadian misterius punya kaitan dengan kondisi biologis seseorang. Banyak faktor alami seperti cuaca, medan, dan sugesti yang bisa memengaruhi pengalaman pendaki.
Fakta Medis: Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Secara medis, tidak ada larangan universal bagi perempuan yang ingin mendaki saat menstruasi. Yang penting adalah kondisi tubuh dan kebersihan diri.
- Saat haid, kadar hormon estrogen dan progesteron menurun sehingga sebagian perempuan merasa lebih cepat lelah.
- Rasa kram, pusing, dan nyeri perut bisa muncul, tapi bisa dikelola dengan hidrasi cukup, asupan karbohidrat, dan ritme jalan yang santai.
- Risiko yang perlu diwaspadai bukan mistis, melainkan dehidrasi, kelelahan, atau hipotermia bila tubuh dipaksakan.
Jadi, dari kacamata medis: mendaki saat haid boleh-boleh saja, asalkan kamu mengenali batas tubuhmu sendiri.
Risiko Nyata vs Risiko Mitos
| Jenis Risiko / Kepercayaan | Status (Fakta atau Mitos) | Penjelasan Singkat |
|---|---|---|
| “Penunggu gunung bisa marah pada pendaki haid” | Mitos | Tidak ada bukti ilmiah. Ini bagian dari kepercayaan lokal yang patut dihormati, tapi bukan alasan medis untuk melarang. |
| “Darah haid dapat menarik satwa liar” | Sebagian benar | Hewan bisa tertarik pada aroma kuat jika limbah tidak disimpan rapat. Namun bukan karena darah haid secara spesifik. Solusinya: simpan dalam kantong kedap dan bawa turun. |
| “Tubuh jadi lebih lemah saat haid” | Fakta medis | Benar, karena kadar hormon turun dan bisa menyebabkan cepat lelah, pusing, atau nyeri perut. |
| “Naik gunung saat haid pasti berbahaya” | Mitos | Tidak otomatis berbahaya. Asal kondisi tubuh sehat dan manajemen kebersihan baik, pendakian tetap aman. |
| “Menstruasi bisa membuat cuaca buruk atau mengundang hal mistis” | Mitos klasik | Tidak ada korelasi antara siklus biologis dan fenomena alam. Ini murni bagian dari narasi budaya lisan. |
| “Sebaiknya menunda pendakian jika nyeri haid berat” | Fakta & saran medis | Jika gejala berat seperti pusing atau kram ekstrem, disarankan menunda demi keselamatan. |
| “Gunung tertentu memang melarang pendaki haid” | Benar secara sosial | Bukan karena alasan medis, melainkan karena norma adat dan etika konservasi di kawasan tertentu seperti TNGGP. |
Perspektif Etika dan Sosial
Walau tidak ada larangan medis, beberapa taman nasional dan kelompok masyarakat tetap menyarankan tidak mendaki saat haid demi alasan etika dan konservasi. Misalnya, di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, pengelola menekankan pentingnya menjaga kebersihan serta menghormati nilai adat. Bukan berarti menstigma perempuan, tapi mengatur aktivitas agar tidak menimbulkan risiko tambahan atau salah tafsir dari masyarakat sekitar.
Fakta Baru: Perempuan dan Ruang di Alam Terbuka
Dalam dekade terakhir, jumlah pendaki perempuan terus meningkat, dan banyak penelitian membuktikan bahwa aktivitas alam dapat membantu keseimbangan hormon serta mengurangi stres menjelang menstruasi.
Pendakian justru bisa menjadi ruang afirmatif bagi perempuan untuk memahami tubuhnya, melatih kemandirian, dan membangun kesadaran bahwa haid bukan hal tabu. Dengan pendekatan medis, edukatif, dan etis, topik yang dulu dianggap “pantangan” kini bergeser menjadi ruang diskusi terbuka.
Kesimpulan
Dari sudut pandang ilmiah, mendaki saat haid tidak dilarang, selama kondisi tubuh stabil dan kebersihan terjaga. Dari sisi budaya, menghormati pantangan lokal tetap penting agar pendakian berlangsung damai dan selaras dengan adat.
Intinya:
Haid bukan alasan untuk membatasi diri, tapi juga bukan alasan untuk menantang tradisi.
Hormati tubuhmu, hormati alam, dan hormati budaya di mana pun kamu mendaki.
Apabila akan melakukan pendakian gunung saat haid, maka penting untuk kamu ketahui panduan mendaki gunung saat haid. Namun pastikan untuk memperhatikan sinyal tubuh, terutama keluhan yang biasanya terasa lebih berat pada saat hari pertama haid, baca ulasan tantang naik gunung pada saat hari pertama haid.
FAQ terkait Mendaki Gunung Saat Haid
1. Apakah aman mendaki saat haid?
2. Mengapa ada gunung yang melarang pendaki haid?
3. Apakah pantangan budaya harus diikuti?
4. Apakah darah haid bisa menarik satwa liar?
Sumber & Referensi:
- Kementerian Kesehatan RI – Edukasi Menstruasi dan Aktivitas Fisik
- Journal of Women’s Health (2022): Menstruation, Hormonal Cycle, and Outdoor Activities
- Observasi lapangan dan wawancara pendaki perempuan di kawasan Gede Pangrango