Gunung Gede di Jawa Barat selalu memikat pendaki: jalur yang terawat, panorama kawah, padang edelweiss, dan hutan yang rimbun. Namun, di balik keindahannya, gunung ini menyimpan cerita yang membuat bulu kuduk berdiri.
Salah satunya adalah kisah nyata yang dialami Maya Azka dan sahabatnya, Ita, pada tahun 2007. Sebuah pengalaman mencekam yang bertahun-tahun kemudian diangkat ke layar lebar dalam film Petaka Gunung Gede.
Pada tulisan kali ini akan mengulas kronologi kisah tersebut secara runut, menyentuh latar budaya lokal, serta pelajaran yang bisa diambil oleh para pendaki.

Pendahuluan: Dari Jalur Populer ke Kisah Tragis
Pendakian ke Gunung Gede biasanya identik dengan suasana ramai dan ceria. Banyak rombongan keluarga, komunitas kampus, hingga pendaki pemula yang memilihnya sebagai gunung “pertama”. Pada 2007, Maya dan Ita bergabung dalam sebuah rombongan kecil bersama kerabat dan teman. Semangat menembus dinginnya hutan, mereka memulai langkah tanpa menyangka petualangan itu akan berubah menjadi pengalaman paling kelam dalam hidup.
Awal Pendakian: Semua Terlihat Baik-Baik Saja
Pada mulanya tak ada yang aneh. Cuaca bersahabat, ritme jalan terjaga, dan obrolan ringan memecah keheningan rimba. Di tengah perjalanan, barulah terungkap bahwa Ita sedang menstruasi. Bagi sebagian orang, ini hal biasa. Namun dalam kepercayaan lokal di banyak gunung di Indonesia, perempuan haid kerap diimbau untuk tidak mendaki karena dianggap “tidak selaras” dengan energi penjaga alam. Rombongan tetap melanjutkan perjalanan, berusaha berpikir positif, dan menjaga etika di jalur.
Awal Gangguan Mistis: Pertanda yang Mengusik
Memasuki hutan yang lebih rapat, hawa terasa berat. Beberapa anggota rombongan mengaku mendengar bisikan samar-samar dari arah pepohonan: kata-kata pendek yang menyuruh “turun”. Ada pula yang melihat bayangan melintas di sela batang pohon, cepat dan sulit diidentifikasi. Maya mulai diliputi perasaan tidak nyaman yang sulit dijelaskan, campuran gelisah, takut, tapi juga ragu apakah semua itu hanya sugesti kelelahan.
Puncak Teror: Ketika Ita Mulai Tak Terkendali
Gangguan kian menjadi. Kondisi fisik Ita mendadak menurun: pucat, mual berat, dan muntah berulang. Rombongan mencoba menenangkan, memberi minum, dan mengatur napas. Namun, situasi berubah drastis saat Ita seolah “kehilangan kendali”. Ia berteriak, melontarkan kalimat-kalimat asing yang tidak biasa, lalu dalam satu momen mencekik Maya. Beberapa orang berusaha melerai, campuran panik dan takut menyelimuti rombongan.
Di sela-sela itu, Ita seakan berbicara sebagai sosok lain, nada suaranya berbeda, dan tatapannya kosong. Hutan yang tadinya riuh oleh obrolan para pendaki perlahan terasa menutup, menyisakan desau angin dan detak jantung yang memburu.
Perjalanan Turun: Antara Ikhtiar dan Kengerian
Rombongan memutuskan untuk turun sebelum kondisi bertambah buruk. Menuruni jalur dalam keadaan letih bukan perkara mudah, apalagi sambil membantu teman yang sakit. Ita sempat muntah darah. Setiap meter langkah terasa panjang, bukan hanya melawan gravitasi jalur, tetapi juga melawan rasa takut akan kemungkinan terburuk. Komunikasi dengan pihak di bawah diupayakan, sambil terus menjaga Ita agar tetap sadar.
Akhir Tragis: Saat Segala Usaha Tak Cukup
Setiba di bawah, Ita segera dibawa ke fasilitas medis. Segala ikhtiar dilakukan, tetapi takdir berkata lain. Ita wafat, meninggalkan duka yang mendalam bagi keluarga dan sahabat, khususnya Maya yang menyaksikan semua perubahan sejak awal pendakian. Peristiwa itu menjadi trauma yang lama terpendam, cerita yang bertahan di ingatan, dan bisik-bisik jalur yang kadang kembali terdengar di kalangan pendaki.
Dari Kisah Lisan ke Layar Lebar
Bertahun-tahun kemudian, Maya menceritakan pengalamannya secara lebih utuh melalui sebuah podcast yang membuat kisah ini viral. Antusiasme dan rasa penasaran publik bertemu dengan gelombang kebangkitan film horor lokal, hingga akhirnya cerita itu diadaptasi menjadi Petaka Gunung Gede.
Dalam beberapa kesempatan, Maya disebut turut memberi masukan agar visualisasi tertentu, termasuk rupa penampakan mendekati apa yang ia saksikan. Tentu, seperti banyak film “berdasarkan kisah nyata”, ada kemungkinan dramatisasi pada sejumlah adegan, tetapi inti ceritanya tetap berangkat dari pengalaman yang ia alami.
Pelajaran untuk Pendaki: Hormati Alam, Siapkan Diri
- Persiapan fisik & mental: latihan kardio, tidur cukup, dan menjaga asupan sebelum pendakian.
- Manajemen risiko: cek cuaca, bawa perlengkapan P3K, lampu, pakaian hangat, dan cadangan air/energi.
- Etika jalur: jaga kebersihan, jangan merusak vegetasi, hindari kata-kata kasar, dan patuhi rambu.
- Hormati pantangan lokal: meski tidak semua orang percaya, menghormati kepercayaan setempat dapat menghindarkan konflik dan meningkatkan kewaspadaan.
- Kenali tanda bahaya medis: pusing ekstrem, muntah terus-menerus, sesak napas, atau perdarahan perlu penanganan cepat.
Penutup
Kisah Maya Azka dan Ita mengingatkan kita bahwa euforia pendakian bisa berubah menjadi duka dalam sekejap. Film Petaka Gunung Gede membuat cerita ini dikenal lebih luas, tetapi pesan yang tersisa jauh melampaui layar: hormati alam, dengarkan tubuh, dan junjung tinggi etika pendakian. Di jalur yang sama, banyak orang menemukan kebahagiaan, semoga kita selalu pulang dengan selamat dan membawa cerita yang bijak, bukan petaka.
FAQ: Pertanyaan yang Sering Diajukan
1. Apakah kisah Petaka Gunung Gede benar-benar nyata?
2. Siapa tokoh utama dalam kisah ini?
3. Mengapa isu “menstruasi saat mendaki” sering disebut?
4. Benarkah ada “penunggu” di Gunung Gede?
5. Apa yang bisa dipelajari pendaki dari kisah ini?
6. Apakah aman mendaki Gunung Gede untuk pemula?
7. Apa saja tanda bahaya medis yang harus diwaspadai saat mendaki?
Disclaimer: Artikel ini menyajikan kronologi sebagaimana diceritakan oleh pihak yang mengalami dan sumber-sumber populer. Beberapa detail mistis berada pada ranah kepercayaan personal, sementara adaptasi film bisa memuat dramatisasi.