Gunung Gede Pangrango tidak hanya memikat karena panoramanya, tetapi juga karena warisan cerita lisan dan naskah kuno yang merekam kabuyutan, legenda, dan nilai spiritual masyarakat Sunda. Sejak dahulu, pegunungan ini dipandang sebagai ruang sakral: tempat bersemayamnya leluhur, pusat belajar, dan penanda arah batin. Tulisan kali ini akan merangkum legenda Gunung Gede, jejak Kabuyutan Sunda, serta kisah-kisah mistis yang masih hidup hingga hari ini lengkap dengan konteks sejarah dan pelestarian budaya di era modern.
Apa Itu Kabuyutan Sunda?
Kabuyutan berasal dari bahasa Sunda kuno yang merujuk pada “tempat leluhur” atau “ruang yang disucikan.” Dalam konteks sejarah budaya, Kabuyutan Sunda adalah pusat spiritual dan pendidikan ajaran leluhur yang umumnya berada di kawasan pegunungan. Tempat ini dijaga oleh para resi atau juru kunci, hanya orang-orang tertentu yang diperkenankan memasuki area inti. Jejak kabuyutan ditemukan pada berbagai situs di Tatar Sunda, dan tradisi tersebut turut membentuk cara masyarakat memandang gunung sebagai poros kosmologi.

Untuk konteks sejarah lingkungan dan konservasi kawasan, baca juga Sejarah Gunung Gede Pangrango agar pemahaman budaya dan lanskap alamnya saling melengkapi.
Bujangga Manik dan Perjalanan Spiritual
Bujangga Manik seorang resi Sunda dari abad ke-16 meninggalkan kisah perjalanan spiritualnya dalam naskah berbahasa Sunda kuno. Dalam catatan itu, ia menyinggung perjalanan ke situs-situs pegunungan di Priangan, yang oleh banyak peneliti dikaitkan dengan jalur pegunungan sekitar Gunung Gede Pangrango. Bagi Bujangga Manik, gunung bukan sekadar bentang alam, melainkan ruang perjumpaan batin dengan leluhur, tempat untuk “mulang tarima” (kembali kepada keseimbangan diri). Narasi ini memperkuat pandangan bahwa gunung dalam budaya Sunda adalah poros etika, adab, dan spiritualitas.
Asal Usul Gunung Gede Pangrango dalam Legenda Sunda
Dalam cerita rakyat, asal usul Gunung Gede Pangrango dipersonifikasikan sebagai dua sosok sakti yang menjaga keseimbangan alam. Gede dilambangkan sebagai daya (kekuatan), sementara Pangrango sebagai wijaya (kebijaksanaan). Dua puncak kembar itu menjadi lambang harmoni, menegaskan bahwa kekuatan sejati harus disertai kebijaksanaan. Legenda ini diwariskan turun-temurun, berfungsi sebagai medium pendidikan moral dan penghormatan terhadap alam.
Legenda Surya Kencana di Gunung Gede
Dari sekian cerita, Legenda Surya Kencana adalah yang paling populer. Padang edelweiss Alun-alun Surya Kencana dipercaya sebagai karaton gaib Prabu Surya Kencana penjaga padang bunga abadi. Banyak pendaki meyakini tempat ini keramat: dilarang bersikap sombong, tidak boleh memetik edelweiss, dan wajib menjaga adab. Cerita ini terus hidup dan menjadi “kode etik” budaya yang selaras dengan konservasi. Ulasan figur kuncinya bisa kamu baca di artikel khusus Eyang Suryakencana.
Mitos Gunung Gede Pangrango bagi Pendaki
Mitos pendakian Gunung Gede kerap berisi pantangan sederhana namun sarat makna: hindari berkata kasar, jangan merusak flora (terutama edelweiss), dan jangan menantang alam. Secara budaya, mitos berfungsi sebagai pengingat agar pendaki menjaga laku sadar diri, tidak serakah, dan peka terhadap sesama. Dari sudut pandang konservasi, pantangan itu turut mengajarkan etika alam, membuat pendaki terlibat aktif dalam menjaga taman nasional dan warisan leluhur.
Hubungan Gunung Gede dengan Kerajaan Sunda
Sejarawan menilai Gunung Gede Pangrango dalam budaya Sunda memiliki peran penting sebagai orientasi spiritual kerajaan. Dalam beberapa prasasti dan tradisi lisan, gunung dianggap pusat kabuyutan, ruang leluhur bersemayam dan tempat raja menaruh sembah. Selain Gede dan Pangrango, deretan gunung seperti Salak, Galunggung, dan Ciremai juga disakralkan. Jalinan ini menunjukkan betapa kuatnya hubungan kerajaan, masyarakat, dan pegunungan dalam kosmologi Sunda.
Kabuyutan Sunda di Era Modern
Di era modern, jejak kabuyutan Sunda masih tampak pada sejumlah situs adat yang dijaga masyarakat sekitar. Sementara itu, Gunung Gede Pangrango kini dikenal sebagai taman nasional dan laboratorium alam. Narasi budaya tetap menyertai: juru kunci, sesajen, dan tata krama di tempat-tempat yang dianggap keramat. Praktik ini tidak dipromosikan untuk wisata, namun eksistensinya diakui sebagai bagian identitas lokal. Inisiatif edukasi yang mengaitkan konservasi dan warisan budaya terus berkembang seiring program interpretasi alam di kawasan TNGGP.
Kisah Mistis Gunung Gede Pangrango
Kisah mistis Gunung Gede Pangrango menyebar dari mulut ke mulut: suara gamelan di malam hari, rombongan “pasukan” yang tak kasat mata, atau pendaki yang “diputarkan” sampai salah jalur. Sebagian cerita tentu bersifat pengalaman personal namun fungsinya jelas: meneguhkan adab dan batas. Alih-alih menakut-nakuti, kisah ini mengingatkan agar manusia tidak melampaui kepantasan saat memasuki ruang yang diyakini sakral. Rangkaian mitos lain bisa kamu telusuri di Legenda & Mitos Gunung Gede Pangrango.
Nilai Spiritual Gunung Gede Pangrango
Dalam kosmologi Sunda, gunung adalah titik temu antara buana nyungcung (atas), buana panca tengah (manusia), dan buana handap (bawah). Nilai spiritual Gunung Gede Pangrango berakar pada gagasan keselarasan: manusia diingatkan untuk menundukkan ego, mengelola hasrat, dan berlaku hormat terhadap alam. Itulah sebabnya banyak orang datang bukan sekadar untuk mencapai puncak, melainkan untuk “nyupatkeun hate” atau menjernihkan hati dan menata langkah hidup.
Kesimpulan
Legenda Gunung Gede Pangrango dan jejak Kabuyutan Sunda memperlihatkan bagaimana pegunungan menjadi poros budaya mengikat nilai spiritual, etika, dan konservasi. Dari asal usul yang dipersonifikasikan, Legenda Surya Kencana di padang edelweiss, hingga kisah-kisah mistis, semuanya bekerja sebagai pengingat: manusia perlu menaruh hormat pada alam.