Cerita mistis Gunung Gede ini dibagikan di Grup Facebook Cerita Pendaki oleh salah satu member bernama Rey Rey. Merupakan kisah nyata yang dialaminya ketika melakukan perjalanan mendaki pertamanya ke Gunung Gede pada tahun 2006. Pendakian dilakukan pada malam hari, namun karena keteledoran salah satu kelompok pendaki mengakibatkan terjadinya gangguan-gangguan mistis sepanjang perjalanan mendaki.
Tahun 2006, Rey baru saja menginjak bangku SMA dan untuk pertama kalinya berani mendaki gunung besar. Bersama tiga sahabatnya Bamba, Aming, dan Polan ia berangkat dari Jakarta menuju Cibodas. Malam itu suasana basecamp masih ramai dua rombongan lain, dari Bandung dan Bekasi, juga hendak mendaki.
Petugas loket sebenarnya sudah memberi pesan jelas, singgah di Telaga Warna, jangan buka tenda di pertigaan Cibeureum, dan jangan berlama-lama di jalur. Namun pesan itu diabaikan sebagian pendaki. Rombongan Bekasi memilih terus melaju tanpa berhenti. Dari situlah, perjalanan mistis perlahan dimulai.
Sosok Perempuan Bungkuk yang Mengikuti
Di pertigaan menuju Cibeureum – Air Panas, Rey dan rombongan beristirahat. Rombongan Bekasi yang seharusnya sudah di depan tiba-tiba muncul dari belakang, berlarian ketakutan. Wajah mereka pucat, napas terengah, dan sebelum sempat bertanya, semua mata menangkap sosok mengerikan seorang perempuan tinggi, bungkuk, bertongkat, berdiri hanya belasan meter dari mereka.

Ketakutan memaksa semua rombongan berjalan cepat. Namun gangguan tak berhenti. Saat menyeberangi Air Panas, Rey melihat sosok perempuan itu bertengger di atas tas salah seorang anggota Bekasi. Tidak hanya itu bau busuk mulai tercium di jalur sempit, tatapan “mata” seakan muncul dari balik pepohonan, dan suara aneh seperti auman hewan liar mengiringi langkah.
Di Kandang Batu, ketegangan semakin terasa. Aming tiba-tiba berubah, tertawa lirih, lalu berkata dengan nada menyeramkan:
“Kalian tidak akan sampai… dan tidak akan bisa pulang.”
Rey dan kawan-kawan buru-buru menahan tubuhnya sambil membaca doa. Butuh waktu lama sebelum Aming kembali sadar, meski tetap terlihat rapuh dan mudah “terseret” oleh sesuatu yang tak kasat mata.
Tanjakan Setan dan Dua Pendaki Misterius
Mendekati subuh, mereka menghadapi rintangan berat: Tanjakan Setan. Jalur terjal dan curam ini hanya bisa dilewati dengan bantuan sling besi. Rombongan Rey merayap pelan, menahan dingin dan rasa takut. Sesampai di atas, Aming kembali meracau, membuat formasi rombongan diatur ulang agar ia selalu berada di tengah.
Namun keanehan berikutnya lebih mencengangkan. Di persimpangan menuju Mandalawangi, Puncak Gede, dan kawah, rombongan Bekasi yang seharusnya di depan tiba-tiba muncul lagi dari belakang. Mereka terlihat kaku, seperti patung. Saat itu pula, sosok perempuan bungkuk mengambang di hadapan Rey, menatap tajam dengan sorot merah menyala.
Ketegangan terpecah ketika dua sosok pendaki lusuh tiba-tiba melintas. Wajah mereka pucat, pakaian kusam, dan ransel yang mereka kenakan adalah model tua dengan rangka besi. Tanpa sepatah kata pun, keduanya menerabas sosok perempuan itu dan seketika, bayangan menyeramkan itu lenyap. Rey seolah tersadar, lalu mengajak rombongan mengejar arah kedua pendaki misterius.
Langit mulai memerah. Pukul 05.50, mereka berdiri di Puncak Gede, menyambut matahari pagi. Namun ketenangan hanya sebentar, karena tujuan mereka berikutnya Alun-alun Suryakencana justru menyimpan kejadian yang lebih mencekam.
Malam Mencekam di Suryakencana
Tenda berdiri di Suryakencana, diapit kabut dan dingin yang menusuk. Rey berharap semua gangguan berakhir di sini. Tapi menjelang malam, rombongan Bekasi kembali panik karena salah satu anggotanya kerasukan, menjerit-jerit, menunjuk ke arah mereka, dan berteriak,
“Turun kalian semua! Kalian tak izin masuk wilayahku!”
Tubuhnya diikat dengan tali, doa-doa terus dibacakan. Setelah berontak hampir setengah jam, ia pingsan. Rey menyarankan semua tenda berdekatan dan berjaga bergantian. Namun belum reda, giliran Aming kembali bertingkah aneh. Teriakan, cekikikan, dan suara gamelan dari berbagai arah membuat malam itu nyaris tak tertahankan.
Saat suasana kacau, kedua pendaki misterius kembali muncul. Mereka berdiri di tengah kerumunan. Hanya dengan kehadiran mereka, Aming dan korban kerasukan lain tiba-tiba terdiam lalu pingsan. Salah satu dari pendaki itu berpesan dengan suara parau:
“Kalian harus segera turun. Gunung ini sudah mengepung kalian. Ada satu teman kalian yang membuat penghuni marah. Nanti kalian akan tahu siapa dia di Simpang Maleber.”
Simpang Maleber: Batu Terlarang
Dini hari, rombongan sepakat turun lewat jalur Gunung Putri. Namun di Pos 4 terjadi keributan. Wedi, ketua rombongan Bekasi, melontarkan kata-kata sompral yang memicu emosi Polan hingga hampir berkelahi. Ketika suasana panas, tawa perempuan bungkuk kembali terdengar dari balik pepohonan.
Kali ini bukan satu sosok, melainkan banyak, perempuan berjubah putih, anak kecil berlengan panjang, sepasang kakek-nenek tua. Semua menatap penuh amarah. Perempuan bertongkat menunjuk tajam ke arah Wedi dan Dodi.
Tiba-tiba, dua pendaki misterius kembali mendekati Rey. Mereka berbisik:
“Kembalikan batu yang dia ambil.”
Polan langsung merogoh saku Wedi, menemukan sebuah batu hijau bercahaya seperti fosfor. Batu itu diambil oleh pendaki misterius dan dibawa ke arah sosok-sosok gaib. Seketika, semua makhluk menyeramkan itu lenyap begitu saja.
Wedi terdiam, tubuhnya gemetar. Rey sadar sejak awal, gangguan datang karena batu itu.
Pulang dengan Sebuah Pelajaran
Agar tak terpencar, semua tas diikat dengan tali. Perjalanan turun diteruskan dalam keheningan. Anehnya, setelah batu dikembalikan, gangguan tak lagi muncul. Mereka melewati Pos 3, Pos 2, hingga azan Subuh terdengar samar dari kejauhan.
Di Pos 1, mereka rehat sejenak, lalu melanjutkan ke pos simaksi Gunung Putri. Saat matahari mulai meninggi, mereka tiba di pemukiman. Wedi akhirnya mengaku batu hijau itu ditemukannya saat buang air kecil di jalur Cibodas, menyala di tanah, lalu ia ambil begitu saja.
Dari situlah semua teror bermula sosok perempuan bungkuk, suara gamelan, kerasukan, hingga sosok-sosok gaib di Simpang Maleber. Untungnya, semua berakhir setelah batu dikembalikan.
Bagi Rey, pendakian pertama ini menjadi pengalaman mistis yang tak terlupakan. Ada satu pesan yang selalu ia pegang hingga kini:
“Di gunung, keselamatan bukan hanya soal fisik. Hormati aturan, jaga adab, dan jangan sekali pun mengambil sesuatu yang bukan milikmu.”
Selesai.
Demikian Cerita Mistis Gunung Gede yang dialami Ray dan kawan-kawan pada saat melakukan pendakian Gunung Gede tahun 2006. Adapun perlajaran yang dapat dipetik dari kisah tersebut yaitu untuk selalu bersikap baik dan taat terhadap aturan terutama di lingkungan yang asing.